Rabu, 27 Februari 2013

The Not-So-Amazing TNSALOA

"Too much of something is never good" adalah salah satu kalimat yang ada di buku The Not-So-Amazing Life of @aMrazing (TNSALOA). Ironisnya, kalimat ini juga yang harus saya pakai untuk me-review buku itu saat ini.

Apparently, I got too much expectation before reading this book. Banyaknya mentions di Twitter yang memuji TNSALOA, serta fakta bahwa buku ini terletak pada rak "best seller books" di bbrp toko buku ternama, telah membentuk opini tertentu di kepala saya. And as I say before, unfortunately opini tersebut lebih tinggi dari kenyataan yang saya temukan setelah membacanya.

I expect TNSALOA is more-less like "Kicau Kacau"-nya Indra Herlambang. Sama-sama banyak dapat pujian di Twitter. Apalagi TNSALOA ditulis oleh Alexander Thian--yang notabene berprofesi sebagai penulis, sementara Indra 'cuma' presenter yang hobi nulis.

Selasa, 15 Januari 2013

meski tak eksklusif, aku tetap mengASIhimu


ASI. Tiga huruf dengan sejuta manfaat. Oke, mungkin nggak sampe sejuta--saya agak lebay. Tapi para pembaca yg pinter pasti ngerti maksud saya kalau yang namanya Air Susu Ibu punya buanyak sekali manfaat. Selain kandungan gizi dalam ASI yang luar biasa dan konon nggak bisa digantikan dengan apapun, proses memberikan ASI alias menyusui pun punya berbagai kegunaan.

Menyadari hal-hal di atas tadi, sejak belum menikah saya sudah berambisi dan bertekad untuk memberikan ASI eksklusif (ASIX) buat anak saya. Iya, dari SEBELUM MENIKAH, bukan cuma sejak menikah atau saat hamil. Karena memang dulu saya pernah kerja di majalah Inspired Kids yang isinya soal pengasuhan anak, pengetahuan dan imajinasi mengenai anak memang sudah bergelayut di otak sejak saya masih single.

Unfortunately, memberi ASIX adalah ambisi saya yang akhirnya nggak tercapai. Buat saya hal ini bisa dibilang sebagai salah satu kegagalan terbesar dalam sejarah hidup saya. Patah hati banget rasanya, sedihnya nggak terkira, kecewa berat, ... nggak bisa digambarkan dengan kata2 lah. Terakhir kali saya merasa down kayak gitu adl saat nggak berhasil tembus UMPTN. Waktu itu saya merasa sgt malu dan bersalah sm orgtua, krn saya satu2nya anak di keluarga kami yang gagal UMPTN; pdhl saya jg satu2nya anak yg sekolah di sekolah unggulan dan biaya sekolahnya paling mahal.

Kembali ke soal ASI... Kenapa akhirnya saya gagal memberi ASIX pada anak pertama kami--Shalom? Ah, banyak faktor yg bisa 'dituding' sbg penyebab. Tapi yang pasti produksi ASI saya memang sedikit. Ditambah lagi faktor ini itu (mostly psikologis) yg enggan saya bahas di sini krn akan terlalu panjang lebar dan bikin saya mewek; jadilah bener2 ASI itu mampet dan nggak keluar.

Tapi PLEASE, jangan tuduh saya nggak berusaha. Jangan bilang kalau ASI itu cuma soal pola pikir, kalau yakin maka pasti bisa. Jangan menghakimi kalau saya kurang kuat bertekad. Saya berusaha, saya berjuang. Saya tutup mata dan kuping saat suami dan ibu mertua sdh menyiapkan susu formula serta botol. Saya ngotot bilang masih mau coba menyusui, walaupun yang keluar cuma tetesan. Sampai di titik balik ketika Shalom harus nginep di RS dan disinar karena dehidrasi dan menguning. Suami saya sampai mengacungkan jarinya dan bilang: "ini semua karena keegoisan kamu dan prinsip ASI eksklusif bullshit itu!" Jangan, jangan juga salahin suami saya. Mengertilah bahwa saat itu dia cuma sgt khawatir dgn kondisi anak pertama kami. Namanya baru pny anak, lg seneng2nya, tiba2 nggak bisa bobo bareng si bayi (walau cuma 1 malam). *tuh kan, nyeritain segini aja udah mulai mewek deh*

Saya pun menyerah. Shalom jadi anak susu formula. Bahkan untuk menyusui 'basa-basi' pun akhirnya berhenti, karena bocahnya pun nggak sabaran dan nggak tertarik lg utk nenen ke mamanya. Apalagi sbg cucu pertama, di rumah mertua wkt itu saya jarang pegang anak sendiri, opung2nya yg lbh sering gendong dan kasih susu. Oh well.

Tapi lain dulu lain sekarang. Untuk anak kedua kami, Glow, saya masih terus mencoba menyusui. Produksi ASI saya memang masih tetap sedikit *percaya deh, saya udah rajin minum susu, makan daun katuk, bayam dan rekan2nya utk ngeboost ASI* tapi saya nggak mau lagi menyerah. Meski nggak eksklusif--karena tetap ditambah susu formula--saya akan tetap memberikan ASI.

Buat ibu2 di luar sana yang punya nasib serupa dgn saya alias produksi ASI-nya sedikit, pesan saya: jangan menyerah! Saya nggak asal ngomong, saya tau banget down-nya, rasa bersalah, kecewa, sedih, malu krn nggak bisa kasih ASI buat bayi sendiri. Juga iri luar biasa saat ibu2 lain menyusui dan ngomongin ASI. Apalagi NGGAK SEDIKIT orang yang menghakimi kita, menganggap kita cuma nggak berusaha. Hey, they don't know anything, so don't let their words bring you down!

Saya sendiri pun akhirnya baru bisa 'move on' setelah denger kata2 Dr. Herbowo, dokter spesialis anak yang pegang Shalom, bahwa produksi ASI itu juga soal rejeki. Guess what, istri si dokter ini pun tnyt pny masalah yg sama. Kebayang dong ironinya sbg seorg dokter yg menyarankan ASIX ke semua ibu2 terpaksa hrs kasih tambahan sufor juga buat anaknya. Saya yakin dokter ini dan istrinya jg pasti berjuang abis2an spy bisa kasih ASIX. Bekal pengetahuan yg dimiliki si dokter pun nyatanya nggak mengubah kenyataan tsb. Saya jadi bisa mengamini kalau (produksi) ASI adalah soal BERKAT dari Tuhan. Ada yang dikasih melimpah, pas-pasan, bahkan sedikit. Tanggung jawab kita sbg manusia--sebagai ibu--adalah menggunakan dgn maksimal berkat yang sudah diberikan.

Buat ibu-ibu lain yang punya berkat ASI melimpah, bisa memberi ASIX (bahkan menjadi donor ASI): BERSYUKURLAH! Kadang kita lupa bersyukur karena menganggap menyusui itu hal yang biasa saja. Dari sisi ibu yang nggak punya berkat sebanyak kalian, kami tahu betapa berharganya berkat itu. Dan kalau boleh kami memohon, dengan segala kerendahan hati, untuk tetap mengkampanyekan ASI dan ASIX tanpa MENGHAKIMI, MENYUDUTKAN, apalagi MENYALAHKAN ibu2 yang belum bisa menunaikannya. Memang ada juga sih ibu2 yang enggan menyusui, atau memilih nggak menyusui dgn berbagai alasan (bukan karena nggak bisa atau produksinya sedikit). Untuk ibu2 yg spt itu, terus terang saya pgn bgt jitak kepalanya *eh* saking gemesnya krn nggak mengoptimalkan berkat yg dimiliki.

Akhir kata, saya mau ucapkan selamat menunaikan ibadah menyusui buat semua ibu2 di luar sana yang sedang menjalankannya. Got to go now, baby Glow is calling for her nenen-time. Ciao!

Rabu, 09 Januari 2013

The Phenomenal Year 2012

We survived! The year 2012 has passed-by, and we made it through.

Bukan, tulisan kali ini bukan mau membahas ramalan suku Maya ttg kiamat tahun 2012 beserta segala kontroversinya. Yang mau saya share adalah mengenai betapa 'fenomenal'nya tahun 2012 yang lalu bagi kehidupan pribadi saya.

Beberapa peristiwa, kejadian, dan event berikut merupakan highlight di hidup saya selama tahun 2012:
  1. Per tanggal 3 Februari 2012, saya resmi meninggalkan status pekerja kantoran. Saya mulai menjalani status baru sebagai stay-at-home-mother (SAHM), freelancer writer & copywriter, serta mencoba bisnis online shop. 
  2. 12 Februari 2012, putri kami Anastasia Abigail Shalom Panggabean a.k.a Shalom menginjak usia 1 tahun. She's officially a toddler ;)
Tampil kompak dgn baju custom-made yang saya pesan di Mileva Kids
Birthday Cake bertema Spongebob buatan Aini Cakes

    Kamis, 06 Desember 2012

    The Great Expectation

    Sabtu pagi, 12 Juni 2010, untuk kesekian kalinya aku mencoba test pack. Karena sudah beberapa kali kecewa—melihat hasil negatif—hari itu aku mencoba untuk tak terlalu berharap. Saat itu aku dan suamiku memang sudah sangat merindukan kehadiran seorang buah hati, apalagi usia pernikahan kami sudah sekitar 9 bulan.

    Tersentak rasanya di kamar mandi ketika melihat ada 2 garis tercetak di test pack. Positif? Really? Bergegas aku kembali ke kamar tidur, hendak memberitahu suamiku. Masuk ke kamar, ternyata suamiku sedang menjalani ritual doa pagi yang biasa dilakukannya. Jadilah dengan perasaan tak menentu aku menunggunya selesai berdoa. Begitu dia selesai berdoa, membuka mata dan berbalik ke arahku, aku memandangnya sambil menunjukkan hasil test pack. “Dua garis, positif bang…” ujarku dengan sedikit bergetar. Suamiku langsung memelukku dengan erat, “Puji Tuhan!” jawabnya. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Kami berdua kemudian tertawa sekaligus terisak, sambil terus berpelukan. Ah, memang campur aduk perasaan kami saat itu.

    Rabu, 07 November 2012

    Help! I'm Stressed

    Sama sekali bukan post yang saya inginkan jadi artikel ketiga di blog ini. Malah sbny saya nggak pengen sama sekali punya post yg beginian--soal betapa stresnya saya saat ini. Tapi apa boleh buat, ini yg skrg sedang saya rasakan, dan spt yg saya tulis di post sblmnya, saya ingin blog ini juga bisa jd terapi 'pelepasan' buat saya.

    So yeah, I'm under a lot of stress right now. Nggak tau musti mulai cerita dari mana, karena stres ini sbny udah tumpukan dr berbagai hal, jd udh ga bisa dicari ujung pangkal awal penyebabnya. Yang bisa saya ceritain mungkin dampak terakhirnya, puncaknya yang adalah tadi malam saya berpikir untuk mengakhiri hidup saya ini. *hah? seorang Sonya mau bunuh diri? lagi hamil 7 bln pula? apa2an ini???* kalo ini yg ada di benak kamu yg lg baca post ini skrg, sama kok, saya juga berpikir begitu. kenapa? ngapain? buat apa?

    Untungnya semalem itu cuma pikiran singkat sementara, bukan sesuatu yg udh direncanakan masak2 *dan untungnya bunuh diri spontan itu nggak gampang, perlu well-planned*. Jadi yg gw lakukan adl malem2 keluar rumah sendirian, sambil nangis tersedu-sedu, berharap tiba2 bisa ketabrak aja gitu karena ga konsen. Kalo di sinetron2 sih skenario kayak gitu standar bgt ya, tp kenyataannya biarpun banyak pikiran dan nangis sambil jalan kaki di tengah malem, kita msh dikasi refleks kok buat menghindari bahaya. Jadi hasil akhirnya saya sama sekali nggak mati, atau bahkan mengalami kecelakaan, cuma mungkin bikin org2 yg sempet liat kebingungan aja: "kok ada ibu hamil jalan2 sendirian malem2 pake jaket kupluk dgn aer mata berlinangan?"

    Trus kenapa sih semalem saya bisa2nya kepikiran & melakukan hal kayak gitu? Kalian semua yg perhatian--sebagian lg mungkin cm kepo sih--pasti bertanya-tanya. Kalo diringkas sih mungkin jawabannya "family matters" alias "masalah keluarga". Intinya, saya merasa jadi sumber masalah/chaos di tengah keluarga, makanya saya berpikir kalau saya dieliminasi dr dunia ini, mungkin anggota keluarga yg lain bakal bs lbh bahagia.

    Saya adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Punya 2 org abang yg masing2 sdh menikah; abang pertama pny 2 org anak dan abang yg kedua pny 1 org anak. Saya juga sdh menikah dan pny seorg anak, serta sedang mengandung anak kedua. Orangtua saya tinggal mama, krn papa sdh dipanggil Tuhan hampir 2 tahun yg lalu. Layaknya keluarga2 lain, pasti ada dinamika dan konflik di tengah keluarga kami. Sampe saat ini nggak ada konflik yg besar--apalagi sampe konfrontasi--di antara kami. Justru orang ato keluarga lain selalu melihat kami sbg keluarga yg cukup kompak. Masalahnya memang konflik atau masalah itu biasanya cuma jadi 'omongan' di antara kami pribadi. Misalnya, suami saya mengeluhkan soal mama atau abang2 saya; juga sebaliknya mama komplain hal2 tertentu dr suami saya; atau abang2 saya biasanya suka nyeletuk atau ngebanyol yg sifatnya nyindir ke suami dan saya. Yah hal2 begitulah. Wajar kan ya?

    Tapi... ibarat lantai kamar mandi jd licin klo ga dibersihin dr sisa2 sabun dan air yg dipake mandi tiap hari, saya pun terpleset tadi malam. Saya merasa sdh bener2 capek. Capek berada di tengah2 semua ketidakpuasan org2 di sekeliling saya. Tanpa dia sadari, saat suami saya mengeluh soal mama dan abang2 saya, saya merasa disalahkan. Begitu juga sebaliknya, mama yg kerap komplen mengenai sikap ato kebiasaan tertentu dr suami jd terasa jd beban berat buat saya. Saya merasa semuanya salah saya, karena sayalah maka suami 'terpaksa' jadi menantu mama dan iparnya abang2 saya, karena sayalah maka mama pny menantu pria satu2nya dgn segala sifat yg dia gak suka. Iya kan? Semua salah saya, kan?

    Meskipun sbny gak pernah ada yg menyalahkan saya, tapi itu yg terasa, itu yg tersimpan, karena kesalahan2 itu semua dikeluhkannya ke saya. Dan repotnya lagi, saya nggak bisa menumpahkannya ke siapa2. Jadi penengah saya nggak mampu dan nggak ngerti cara ngomongnya, jadi pendengar saja bikin kepala saya 'penuh', mau cerita ke org lain sama aja buka aib keluarga.

    Sampe skrg rasanya kepala dan dada ini msh sesak. Entah sampe kapan, dan entah gmn solusinya--skrg saya blm tau. Yang saya tau, memutuskan utk mengakhiri hidup bukan pilihan. Tuhan yg kasih kehidupan, cuma Dia yg berhak mengambilnya dari saya. Maafkan saya ya Tuhan, ampuni saya, kuatkan saya dan buat saya mengerti rencanaMu.