Rabu, 27 Maret 2013

Pancasila Kita-kita


“Hah? Pancasila?! Kayak anak SD mau upacara bendera!” Begitu tanggapan salah seorang sahabat saat saya katakan bahwa saya ingin menulis tentang Pancasila. Sepertinya bukan cuma sahabat saya yang berpikir demikian—bahwa Pancasila hanyalah sekadar ‘hafalan’ untuk anak sekolah.

:: Dok. Wikipedia ::
Masih banyak juga sih yang menghormati Pancasila. Tapi saking hormatnya, Pancasila seperti sesuatu yang keramat atau suci, nggak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. In my humble opinion, hal ini terjadi karena Pancasila kerap dikaitkan dengan kata-kata yang ‘berat’,  sehingga akhirnya terkesan sangat normatif. “Ideologi”, “bhineka”, juga “nilai luhur” adalah beberapa contoh istilah yang sering digunakan bersama dengan kata Pancasila. Istilah-istilah yang mungkin pada dasarnya bisa kita mengerti, tapi tetap terasa ‘jauh’ dan tak bisa dipahami kaitannya dengan kehidupan nyata. Boro-boro menjadikan Pancasila sebagai jati diri atau kepribadian bangsa, untuk memahaminya saja sulit.



“Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi,” ucap Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 (sumber: Wikipedia). Ironisnya, banyak sekali problematika bangsa ini yang berasal dari pelanggaran Pancasila. Dengan kata lain, seandainya Pancasila benar-benar digunakan sebagai dasar untuk berbangsa dan bernegara seperti kata Soekarno, maka banyak masalah dan tantangan yang ada di negeri ini bisa dihindari serta diatasi. Baik tantangan dari dalam—yakni keanekaragaman budaya (suku, agama, ras), maupun dari luar berupa arus globalisasi. 

lomba blog pusaka indonesia 2013


Untuk dapat mengamalkan dan juga tidak melanggar nilai-nilai di dalamnya, penduduk negeri ini perlu diingatkan kembali akan makna Pancasila yang sebenarnya. Tanpa bermaksud mengecilkan makna Pancasila, di tulisan ini saya ingin menyederhanakan arti kelima sila ke dalam bahasa sehari-hari. Bahasa kita-kita.

Ketuhanan Yang Maha Esa
Pancasila menyebutkan Tuhan itu Maha Esa, dan negara mengakui 5 agama yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Artinya, umat beragama memiliki kedudukan yang sama di mata negara—karena Tuhan kita Esa jadi tak ada Tuhan/agama/doktrin yang lebih benar dari antara kelimanya.

Kenyataannya sekarang, diskriminasi dan konflik antar agama begitu marak. Yang paling current adalah pembongkaran gereja HKBP Setu beberapa hari lalu. Pemkab Bekasi yang merobohkan memberi alasan bahwa gereja HKBP Setu tidak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Namun pihak Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang diwakili oleh Kepala Biro Penelitian dan Komunikasi PGI, Pendeta Henrek Lokra membantah hal tersebut. Menurut keterangannya, HKBP Setu telah memiliki surat IMB. Ironisnya lagi, proses penerbitan IMB tersebut tidaklah mudah dan telah melalui proses yang lama: 13 tahun!

Silakan dibayangkan sendiri, mau memiliki tempat ibadah yang layak dan resmi saja butuh proses selama 13 tahun. Bisa dipastikan ada ‘skenario’ yang membuat proses tersebut berlangsung sekian lamanya.  Kabar yang santer beredar adalah masyarakat sekitar yang tidak mau dan tidak mengizinkan ada gereja di wilayahnya. Sedih ya? Kalau kabar itu benar, berarti masyarakat Bekasi merupakan contoh orang Indonesia yang lupa dengan isi sila ke-1.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Buat saya kata kunci dari sila ke-2 ini adalah kemanusiaan/manusiawi, adil, dan beradab. Dan saat menulis ini seketika yang muncul di benak saya adalah FPI—yang katanya “Front Pembela Islam” tapi saya yakin lebih banyak umat Islam yang tak merasa ‘dibela’ oleh mereka. Tentunya FPI bukan contoh pengamalan sila kedua. Sebaliknya, menurut saya FPI adalah contoh paling sempurna untuk menggambarkan pelanggaran semua poin penting dari sila ini.

Dengan mengatasnamakan kebebasan berorganisasi, FPI kerap melakukan tindakan anarki dan kekerasan dalam aktivitasnya. Salah satu yang paling awet adalah perseteruan FPI dengan Ahmadiyah. Setara Institute mencatat, sepanjang tahun 2008 saja terdapat 193 kasus kekerasan yang menimpa jemaah Ahmadiyah. Tahun 2009-2012 pun hal tersebut masih kerap terulang; tak terkecuali pada hari raya Idul Adha bulan Oktober tahun lalu. FPI memandang paham Ahmadiyah melenceng dari ajaran Islam, sehingga semua kegiatan Ahmadiyah harus dihentikan. Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri—Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008 memang telah memerintahkan penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan Islam. Sayangnya keputusan itu multitafsir, karena sering muncul perbedaan pendapat pada kalimat “kegiatan yang bertentangan dengan Islam” tersebut,

Kalaupun aliran Ahmadiyah terbukti sesat atau melanggar hukum, tapi tindakan kekerasan yang dilakukan FPI tak bisa dibenarkan. Menyerang dengan brutal jemaah yang sedang beribadah, hingga menjatuhkan banyak korban termasuk wanita dan anak-anak, sungguh tidak manusiawi dan beradab.
Aspek keadilan pun kerap dilanggar oleh FPI. Karena meski FPI menyatakan tujuan kegiatannya menegakkan hukum dan kebenaran, mereka sendiri sering melanggarnya. Mulai dari pelanggaran lalu lintas sampai pelanggaran HAM. Menurut saya, FPI adalah gambaran betapa sila ke-2 telah diinjak-injak dilupakan. Betapa menyedihkan fakta bahwa FPI masih bertahan di negeri ini setelah sekian lama dan sekian banyak menuai protes.

Persatuan Indonesia
Sila ke-3 ini paling singkat dan simpel, juga paling gampang dimengerti. Tapi ternyata belum tentu paling mudah dijalankan. Buktinya? Silakan tengok Twitter page dari @farhatabbaslaw. Pengacara yang menyebut dirinya sebagai calon presiden muda ini jelas-jelas membuat memancing perpecahan masyarakat Indonesia dengan twit-twit yang provokatif. Ini beberapa di antaranya:
Ahok sana sini protes plat pribadi B 2 DKI dijual polisi ke org Umum katanya! Dasar Ahok plat Aja diributin! Apapun platnya tetap Cina!”
 “Suruh tuh Cina2 yg pada nganggur untk kerja dan semangat buat bangsa, ga usah dzalimin gue! Gue jd Presiden gue pasti Adil kog.”
Hello para Tokoh Cina yg semua Makmur! Gue Bukan musuh kalian.  gue AKUINDONESIA. kalian kan AKUINDONESIA juga kan?

Banyak pernyataan terlontar dari akun Twitter milik Farhat Abbas yang menyudutkan etnis China atau Tionghoa. Padahal, etnis ini sudah diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Jadi sebenarnya pria yang kerap menggunakan tagar #AKUINDONESIA dalam twit-nya ini sedang memecah belah bangsanya sendiri.

Apapun motivasinya, Farhat Abbas jelas-jelas perlu diberi penataran khusus untuk mendalami makna sila ke-3. Sungguh patut disesalkan bila kemajuan teknologi dan media sosial seperti Twitter justru digunakan untuk menyebarkan kebencian terhadap bagian dari bangsa ini sendiri. *Mari lempar bambu runcing virtual bersama-sama*

Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Bahkan suami saya sendiri sudah tidak dapat menyebutkan sila ke-4 ini dengan lengkap. Bukan cuma panjang, sila ini juga menurut saya cukup rumit. Menggunakan kalimat bertingkat dan kata-kata yang kurang familiar, membuatnya relatif susah dipahami. Menurut saya yang agak sok tahu ini arti sila ke-4 dalam bahasa sehari-hari adalah: rakyat (butuh) dipimpin oleh (orang-orang yang) bijaksana, dan mengambil keputusan berdasarkan musyawarah atau dengan perwakilan. 

Bagaimana pelaksanaannya di negeri ini pada masa sekarang? Saya tergelitik dengan berita baru-baru ini mengenai komisi III DPR hendak melakukan studi banding ke beberapa negara di Eropa untuk membahas Undang-undang seputar…….. santet! Tak pelak hal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi masyarakat. Kenapa harus ke Eropa? Apakah studi banding ini akan efisien dan efektif? Sebagian masyarakat malah sudah tak lagi bertanya-tanya, melainkan bersikap apatis dan meyakini bahwa hal ini hanya alasan para anggota DPR untuk ‘liburan’ dibiayai negara. *Hiks!*

"Jangan salah, santet itu bagian daripada sihir. Sihir di zaman nabi sudah ada, di negara luar sudah ada. (Santet) itu subnya (sihir)," kilah anggota Komisi III DPR, Achmad Dimyati Natakusumah seperti yang tertulis pada situs DetikNews. Alasan ini nampaknya tak cukup kuat untuk diterima secara rasional oleh masyarakat—termasuk saya. Tetap saja kita bertanya-tanya, apakah pelajaran ‘sihir’ di Eropa nantinya akan relevan dengan masalah santet di negeri ini? Mengingat biaya untuk studi banding ke Eropa pasti sangatlah besar, apakah hasilnya akan benar-benar sebanding? Mengapa tidak memperdalam topik ini di dalam negeri saja, padahal perihal mistis sangat lekat dengan budaya bangsa Indonesia sejak dulu? Dan apakah perihal santet begitu penting dan urgent hingga membutuhkan studi banding sampai ke Eropa?

Dewan Perwakilan Rakyat. Fungsi utama DPR ialah sebagai perwakilan rakyat, agar suara masyarakat ‘terdengar’ di jajaran pemerintahan. Sangat disayangkan bila program yang dijalankan oleh DPR tidak mendapat kepercayaan dan restu dari masyarakat. Yang harusnya mewakili rakyat, justru dianggap memberatkan rakyat dengan pengeluaran-pengeluaran tak perlu. Pemimpin negeri ini (Presiden dan seluruh jajaran pemerintah di bawahnya) harus mempunyai hikmat dan kebijaksanaan; supaya bisa merancang dan menjalankan program yang memang menjadi kebutuhan bangsa Indonesia. Meski tak mungkin menggelar musyawarah dengan seluruh rakyat untuk membahas semua program atau kebijakan negara, setidaknya suara ketidaksetujuan dan protes masyarakat bisa menjadi pertimbangan tambahan.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Bersikap adil dan berjiwa sosial, untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kira-kira begitulah sila ke-5 versi bahasa sehari-hari menurut saya. Kalau saja para pejabat dan penegak hukum Indonesia tidak khilaf dan melupakan sila ini, saya rasa Rasyid Amrullah—anak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian—yang bertanggungjawab atas kecelakaan lalu lintas hingga menimbulkan dua orang korban tewas dan tiga orang terluka akan mendapatkan hukuman yang lebih berat dari sekadar lima bulan penjara. Begitu pula dengan hukuman para koruptor yang seringkali relatif ringan, meski telah terbukti menimbulkan kerugian besar bagi negara.

“Ketidakadilan sosial” di negeri ini bahkan bisa diintip dari kondisi jeruji besi. Bukan rahasia lagi, tempat hukuman para terpidana di negeri ini lebih ‘bersahabat’ untuk mereka yang banyak uang. Dilengkapi berbagai fasilitas, penjara bagi para pejabat dan orang kaya lebih mirip dengan hotel ketimbang tempat hukuman.

Nyata sudah, banyak masalah di negeri ini pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap Pancasila. Sudah siap kembali ke jati diri bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila? Yuk!

14 komentar:

Belinda Kusumo mengatakan...

Saya rindu sekali Indonesia bisa aman seperti dulu dan menghargai keberagaman. Kalau negara tetangga kita bisa. Harusnya negara kita juga bisa. Bukahkan di negara kita juga sudah ada warga keturunan India,China seperti mereka. Kalau dulu kita tidak bisa nikmati Barongsai sekarang kita jadi bisa. Harapan saya kedepannya. Klasifikasi kotak2in agama,suku pun bisa pudar. Seru kan kalau kita tambah bisa menikmati festival Divali di jalan. Anak2 kita pun belajar budaya asing dan menghargai warga India di sekitar itu sebagai warga negara yang punya hak sama.

Masalah FPI dahulu itu yang saya ingat cara mreka merusak warteg yang jualan saat bulan Ramadhan. Bbrp teman saya dan keluarga saya yang menjalani puasa pun kurang setuju. Seharusnya berpuasa/tidak itu menjadi hak masing2. Kl yg puasa baiknya tidak lewat area tmpt makan kl tdk bisa menahan kebutuhan makannya. Jangan salahkan pedagang karna mreka punya hak untuk mengais rejeki.

Hanni Handayani mengatakan...

wah topik kekinian, pas bener hari pancasila

Sonya Tampubolon mengatakan...

:: Belinda Kusumo ::
setuju banget! seinget saya Indonesia dulu dikagumi banyak negara lain krn unity in diversity-nya. bhinneka tunggal ika. perbedaan2 itu mestinya jd kekayaan yg kita nikmati bersama ya. saya yg non-muslim jg ikut nikmatin jajanan ta'jil selama bln puasa :P ah iya, seru banget klo bisa ada festival2 budaya yg bisa dirayakan sama2.

klo soal FPI, duh aseli saya speechless. buat saya track record FPI udh bobrok dari dulu. sayangnya belakangan ini malah sptnya banyak yg membela. -__-
anyway, makasih banyak udh mampir ke sini yaaa bun Bel

Sonya Tampubolon mengatakan...

:: Hanni Handayani ::
hehehe, padahal tulisan lama nih thn 2013. tapi masih 'masuk' lah ya sm kondisi saat ini. makasih udh mampir yaaaa

hiqudsstory mengatakan...

Bahasan yang ga umum ya tentang pancasila, padahal kalo mau digali lagi bisa mencerahkan orang2 ttg makna pancasila, bukan hanya ttg agama dan etnis tertentu saja.

Helena mengatakan...

ini artikel 2013? tapi isu serupa masih beredar sampai sekarang ya. Hmm...

Anonim mengatakan...

Susah ya jaman sekarang menerapkan makna dari pancasila itu sendiri, banyak yang menyalahgunakan, terutama masalah agama. Terimakasih penjelasannya mba sonya.

Uci mengatakan...

Pemahaman mengenai Pancasila, harus saya terapkan di rumah kepada si kecil,untuk membuatnya paham akan nilai nilai Pancasila yang harus diamalkan di kehidupan sehari hari

mpo ratne mengatakan...

Zaman Kita kecil Tiap pagi membacakan pancasila. Sekarang kok pada lupa ya Sila sila nya?

Sonya Tampubolon mengatakan...

:: Hida Qu::
hai bunda, makasih ya udah mampir ke sini. ini tulisan lama sih, tahun 2013, kenapa yg dibahas kebanyakan agama dan etnis krn current issue pd saat itu ya demikian. jujur saya gak nyangka 4 tahun kemudian isu ini malah makin'panas' spt sekarang :( justru bersyukur bgt sempet nulis ini. mungkin bisa mengingatkan situasi bbrp tahun lalu supaya kita bisa lbh bijak bersikap dan berpihak :)

Sonya Tampubolon mengatakan...

:: Helena ::
iyaaa beneran deh ini tulisan saya tahun 2013. makanya yg jadi contoh tuh kasus2 yg terjadi saat itu. ternyata 4 tahun kemudian malah makin panas ya isu ini. ternyata belum revolusi mental. hiks... anyway, makasih udh mampir yaaa

Sonya Tampubolon mengatakan...

:: Melysa Luthiasari ::
hehehe saya hanya mengungkapkan opini dari kacamata pribadi saya sih ya, belum tentu bisa jadi penjelasan yg diterima semua pihak :) semoga kita semua makin terbiasa mengamalkan Pancasila dlm keseharian yaaa.. makasih bnyk udh berkenan mampir

Sonya Tampubolon mengatakan...

:: Bo Ghaisan::
setuju banget! dan anak2 paling mudah belajar dgn cara meniru. jadi akan jauh lebih efektif bila kita sbg ortu mengamalkan nilai2 Pancasila, menunjukkan teladan dan penjelasan kpd anak, supaya mereka bisa benar2 paham akan pengamalan Pancasila :) thanks for dropping by!

Sonya Tampubolon mengatakan...

:: mpo ratne ::
mungkin banyak juga yg masih ingat sila-silanya tapi 'lupa' mengamalkannya :) makasih udh mampir yaaa

Posting Komentar

Sudah baca artikel ini? Tinggalkan komentar ya... Thanks!